Kamis, 14 November 2013

Ketika diam adalah pilihan terbaik

Kali ini prediksi jawaban atas judul posting ini adalah "emang iya!!, baru tau ya?!?" atau mungkin "Maksudnya apa ya mas?". Keduanya ternyata masih satu kubu. Satu jawaban mengiyakan, jawaban lain abstain yang artinya jawaban "iya" unggul satu suara. [sementara ini]

Berhubung pepatah "diam adalah emas" sudah cukup masyhur, maka Saya setuju-setuju sajalah. Melawan mainstream itu tidak selalu benar masalahnya. Bisa-bisa terlalu sering tidak percaya dengan perkataan orang malah membuat kita linglung seperti tersesat di tengah jalan (bukan hutan, terlalu mendramatisir).

Ya, seperti tersesat di tengah jalan. Artinya pada saat apapun selama masih punya nyawa, kita masih punya kesempatan percaya pada orang lain, dalam wujud bertanya. Kecuali jika memang kepercayaan itu belum sanggup tumbuh, maka ya sampai pada saat itulah (mungkin) kita harus masih tersesat.

Cerita barusan mengingatkan saya pada pepatah lain, yang ternyata tidak terlalu setuju dengan pepatah sebelumnya, yaitu "malu bertanya, sesat di.... " [lanjutkan sendiri]. Satu pepatah bilang, diam yang lain berwasiat bertanya. Jadi harus bagaimana? Diam, atau bertanya? Bukankah bertanya itu berarti tidak diam?. [silahkan menertawakan, jika mau]

Bertanya atau tidak, itu bisa dipilih bisa tidak. Diam atau bicara juga seperti itu. Permasalahan yang sebaiknya di pertanyakan adalah pada saat apa atau dalam Bahasa Indonesia baku, kita mengenal "bilamana". Itu dia, pertanyaan yang terpampang jelas di juldul posting ini. Ketika....

Jadi ketika apa saja kita harus diam, jika ada yang ngeles menjawab ketika diam adalah pilihan terbaik. Maka dengan senang hati saya ingin bertanya lagi, "pilihan terbaik itu yang bagaimana?" [silahkan bingung, jika mau]

[Saya juga bingung] kalau harus menjawab soal pilihan terbaik. Tapi jelas, pilihan terbaik bukan di tangan kita. [semua setuju??... setujuuuu!!!] karena yang ada pada kita hanya pilihan yang menurut kita terbaik. Itu saja. Jawaban dari tiap pertanyaan bilamana adalah selalu berkorelasi penuh dengan persoalan proporsional. Mudah ternyata jika kita mau menempatkan satu hal pada tempat dimana hal itu seharusnya berada. Tapi jelas, saya mendukung pendapat bahwa bersikap proporsi itu, sulit. TAPI HARUS. Kita diam, saat memang diam itu diperlukan. Kita bertanya, ketika bertanya itu diperlukan. Kapan? Tanya diri kita masing-masing.

Kata Nya tidak ada sesuatupun yang sia-sia,
bukankan itu adalah kesempurnaan proporsi?

Yang tidak setuju boleh ngacung [acungkan tangan] [raise your own hand].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar